Kami menawarkan biaya penyelenggaraan Badal Haji hanya dengan dengan 6 juta saja, bisa cash atau dicicil. Dengan biaya 6 juta, kami akan berikan sertifikat badal haji + cindera mata (gift) dengan biaya pengiriman gratis ke seluruh pelosok Indonesia.
Hubungi kami jika berminat, SMS/Whatsapp: 081225303962 Pin BB: 2A267CD8

Biaya badal haji murah (Rp. 6 Juta cash & cicilan)

Saudara-saudari mempunyai niat baik untuk mem-Badal Haji-kan keluarga ?, namun kemungkinan kesusahan untuk mencari orang atau lembaga yang bisa dipercaya dan bisa memberikan penawaran biaya badal haji di bawah rata-rata penawaran pihak lain? 

Insyaallah kami solusinya.


Bekerjasama langsung dgn Saudara-saudara kita tinggal di Mekkah & Madinah yang sudah profesional dalam mengurusi Badal Haji terutama buat penduduk Indonesia, kami menawarkan biaya penyelenggaraan Badal Haji hanya dengan dengan 6 juta saja. Dengan biaya 6 juta, kami akan berikan sertifikat + cindera mata (gift) dengan biaya pengiriman langsung ke alamat secara gratis ke seluruh pelosok Indonesia.

Untuk lebih meringankan niat saudara-saudari kami membuka program pembayaran dengan mencicil dimulai dari bulan Desember 2014M sampai dengan setelah lebaran Idul Fitri tahun 2015M (pelunasan).

Mudah-mudahan program ini bisa membantu niat baik kita semua..aamiin,

Bagi yang berminat silahkan hubungi kami di SMS/Whatsapp : 081225303962
Pin bb: 2A267CD8
Tidak ada tipu-tipu, kami mempunyai citra yang baik di dunia jual beli online, silahkan lihat facebook kami yang sudah ternama di : https://www.facebook.com/butikzahra1

Contoh Sertifikat Wanita


Hukum badal haji

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya:
Barangsiapa mati dan belum berhaji karena sakit, miskin atau semacamnya, apakah ia mesti dihajikan?
Beliau rahimahullah menjawab:
Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama:
Saat  hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)
Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.
Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)
Kedua:
Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.
Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.
Adapun firman Allah Ta’ala,
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah).  Hal ini khusus untuk ibadah yang ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti do’a dari saudara kita, sedekah, haji dan puasa. Adapun ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di dalamnya seperti kirim pahala shalat dan kirim pahala bacaan qur’an. Untuk amalan ini sebaiknya ditinggalkan karena kita mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul muwaffiq.
(Fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/690)

Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh membadalkan haji:

  1. Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji sebelumnya.
  2. Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah berusia senja.
  3. Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk dibadalkan hajinya.

Yang perlu diperhatikan:

  1. Tidak boleh banyak orang (dua orang atau lebih) sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi saat ini dalam hal kasus badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima sampai sepuluh orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan besar. Jadi yang boleh adalah badal haji dilakukan setiap tahun hanya untuk satu orang yang dibadalkan. (Lihat bahasan di:http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
  2. Membadalkan haji orang lain dengan upah dilarang oleh para ulama kecuali jika yang menghajikan tidak punya harta dari dirinya sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji. Perlu diketahui bahwa haji itu adalah amalan sholeh yang sangat mulia. Amalan sholeh tentu saja bukan untuk diperjualbelikan dan tidak boleh mencari untung duniawiyah dari amalan seperti itu. Maka sudah sepantasnya tidak mengambil upah dari amalan sholeh dalam haji seperti thowaf, sa’i, ihrom, shalat dan lempar jamarot. Sebagaimana seseorang tidak boleh mengambil upah untuk mengganti shalat orang lain. Sehingga yang jadi masalah adalah menjadikan badal haji sebagai profesi. Ketika diberi 3000 atau 4000 riyal, ia menyatakan kurang. Karena badal haji hanyalah jadi bisnisnya. Amalan badal haji yang ingin cari dunia adalah suatu kesyirikan. Jika itu syirik, lantas bagaimana bisa dijadikan pahala untuk orang yang telah mati? Renungkanlah!! Sungguh ikhlas itu benar-benar dibutuhkan dalam haji, begitu pula ketika membadalkan (menggantikan haji orang lain). (Lihat bahasan di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=226898)

Nasehat terakhir: Lakukan Badal Haji dengan Ikhlas

Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16). Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Jika dunia saja yang dicari dalam lakukan badal haji, maka tunggu saja balasan yang akan Allah berikan. Uang melimpah bisa jadi ia dapat, namun nikmat di akhirat bisa jadi sirna. Ikhlaslah … ikhlaslah dan raihlah ridho Allah.
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan ikhlas dalam beribadah pada-Nya.
Sumber : http://muslim.or.id

Apa itu badal haji ?

Secara bahasa, badal haji atau haji badal berarti amanah haji atau menghajikan orang lain. Dalam terminologi fikih, badal haji adalah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau karena adanya uzur syar’i, baik rohani maupun jasmani.
Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam.
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa badal haji dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.
Berkenaan dengan kondisi pertama, para ulama berbeda pendapat akan kebolehannya. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hanbali membolehkannya dengan syarat orang tersebut memiliki uzur syar’i yang berlaku seumur hidupnya, atau setidaknya diduga akan berlangsung seumur hidup. Contohnya orang lanjut usia atau yang menderita sakit tanpa harapan sembuh, yang karena telah memiliki kemampuan secara ekonomi masuk dalam kategori wajib haji.
Para imam tersebut juga sepakat bahwa hilangnya uzur yang menghalangi seseorang untuk menunaikan haji sendiri juga menghilangkan hakya untuk mewakilkan pelaksanaan ibadah tersebut kepada orang lain.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh para Imam mazhab tersebut dalam kondisi kedua, yaitu ketika orang yang diwakilkan telah meninggal dunia. Perbedaan pendapat di antara mereka hanya terjadi dalam kasus apakah biaya pelaksanaannya diambil dari harta peninggalan si mayit atau dari ahli warisnya. Imam mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan biaya pelaksanaannya dapat diambil dari harta peninggalannya. Sedangkan para pengikut Imam Hanafi menyatakan bahwa biayanya diambil dari harta ahli waris.
Para ulama ketiga mazhab tersebut mendasarkan pendapat mereka kepada hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut. Di antara hadits-hadits yang memperbolehkan perwakilan pelaksanaan haji dari orang yang masih hidup adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, At-Tirmidzi, Daruquthni dan Abu Daud.
Bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah satu kewajiban Allah kepada hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang sudah sangat tua, tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya?” “Boleh,” jawab Rasulullah.
Adapun hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah meninggal untuk dihajikan adalah dari Ibnu Abbas RA. Diriwayatkan bahwa seorang wanita dari Juhainah berkata kepada Rasulullah, “Ibu saya bemadzar untuk menunaikan ibadah haji pada tahun ini. Tapi ia sudah wafat sebelum sempat melaksanakannya. Bolehkah saya menunaikannya untuk beliau?” Rasulullah menjawab, “Ya, hajikan dia. Bukankah jika ibumu memiliki hutang kepada orang lain engkau wajib melunasinya? Lunasilah hutang Allah, karena hutang-Nya lebih berhak untuk dilunasi!” (HR. Bukhari).
Berbeda dengan ketiga mazhab di atas, mazhab Maliki tidak membenarkan perwakilan dalam ibadah haji dengan alasan walaupun haji merupakan ibadah gabungan antara ibadah fisik (badaniah) dan materi (maliyah) akan tetapi sisi fisiknya lebih menonjol dibandingkan sisi materinya. Dengan demikian, seorang yang mampu secara ekonomi tapi tertimpa uzur syar’i sehingga tidak dapat menunaikan ibadah haji sendiri, tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji.
Begitu pula dengan orang yang telah meninggal, kecuali jika orang tersebut meninggalkan wasiat kepada ahli warisnya untuk mengerjakan haji. Dan biaya pelaksanaannya diambil dari sepertiga harta yang ditinggalkannya.